KORUPSI dan PENDIDIKAN
(Pelajaran bagi Bangsa Indonesia demi perubahan di masa depan)
Oleh: Dharma Kesuma, M.Pd.
Kerusakan terhebat Indonesia, negeri yang kaya-raya, akibat kegagalan pembangunan yang berlangsung puluhan tahun sesungguhnya bukanlah hutan-hutan atau sumber-sumber lainnya yang habis dan rusak, tetapi adalah kerusakan manusianya oleh korupsi.
I. Hal-Ikhwal Korupsi
I.1 Definisi Korupsi
Korupsi didefinisikan sebagai abuse of public official for private profit (penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi) (Eigen, 1997; Bardhan, 1997 dalam Mills, 1997)). Definisi ini lebih tertuju pada korupsi yang terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan atau jabatan-jabatan publik. Terdapat definisi yang juga ingin sektor swasta juga terbidik, abuse of entrusted power for private profit (penyalahgunaan tanggung jawab yang diterima demi keuntungan pribadi) (Eigen, 1997). Berdasarkan kedua definisi di atas dapat dilihat bahwa tanggung jawab, sebagai salah satu esensi dari terbangunnya masyarakat yang sehat dilecehkan. Korupsi adalah suatu penghianatan terhadap masyarakat, kelompok sosial, atau orang lain.
Penyalahgunaan jabatan publik, seperti dalam definisi yang pertama di atas, biasanya disertai dengan akibat kerugian publik yang sifatnya ekonomis. Kerugian yang langsung adalah dalam bentuk uang atau kekayaan publik yang beralih ke tangan koruptor; tetapi mungkin saja terdapat kerugian yang tidak langsung. Tender atau pengadaan barang/jasa publik yang korup biasanya terjadi melalui pengalokasian anggaran secara illegal ke pejabat korup. Pengusaha sering mengalokasikan dana entertainment (perjamuan) dalam perburuannya untuk mendapatkan kontrak melalui tender publik, kemudian alokasi ini diperhitungkan sebagai ongkos dari proyek. Kedua hal ini adalah termasuk kategori korupsi yang menimbulkan kerugian langsung uang publik. Banyak orang beranggapan korupsi hanyalah dalam kategori ini, kategori yang bercirikan kerugian langsung negara oleh koruptor.
Sesungguhnya korupsi bukan hanya dalam bentuk seperti yang diuraikan di atas. Pembuat KTP, SIM, STNK, IMB, atau Surat Izin Usaha Perdagangan yang harus membayar tanpa dasar yang jelas adalah tidak merugikan negara. Pihak yang dirugikan adalah anggota publik. Orang-orang biasa menyebut tipe korupsi yang demikian ini sebagai ‘pungli’ (pungutan liar). Dalam masyarakat yang maju terdapat pandangan bahwa tugas negara adalah melayani rakyatnya atau publik. Pungli jelas tidak bersifat melayani. Juga, terdapat asumsi bahwa setiap urusan publik hendaknya didasarkan atas putusan publik (undang-undang, hukum, peraturan). Pungli jelas bukan putusan publik, tetapi putusan sejumlah oknum pemerintah. Pungli jelas membuat redistribusi kekayaan publik berlangsung secara tanpa arah, tidak adil. Dalam artian inilah negara dirugikan, karena salah satu tugas negara adalah mengupayakan redistribusi kekayaan rakyatnya secara adil.
Terdapat banyak bentuk perbuatan pegawai negeri sipil atau militer/polisi yang berpotensi merugikan publik meskipun banyak orang tidak menyadarinya sebagai sebuah bentuk perbuatan atau kebijakan yang korup. Pem-bypass-an peraturan atau kriteria agar cepat naik pangkat atau dapat jabatan, juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan korup. Hal ini menyebabkan kenaikan pangkat tidak sejalan dengan kenaikan kemampuan atau keahlian yang akan diabdikan kepada masyarakat. Masyarakat menjadi dirugikan, oleh pengeluaran negara untuk kenaikan gaji si pegawai karena naik pangkatnya dan oleh layanannya yang tetap tidak meningkat. Hal ini bersifat umum di Indonesia. Hal yang sama seperti ini juga terjadi dalam perolehan gelar akademis di perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta gurem.
Kerugian publik adalah sebuah ciri dari perbuatan atau kebijakan publik yang perlu disorot secara khusus. Tindakan atau kebijakan yang buruk hingga terjadi kerugian publik, misalnya melalui pemborosan uang negara, meskipun terjadi bukan karena niat korupsi atau memperkaya diri, seyogyanya dalam batas tertentu harus dianggap pelanggaran hukum. Barangkali perbuatan yang demikian ini tidak dapat dimasukkan dalam kategori korupsi, tetapi ia adalah saudara sepupu dari korupsi.
Barangkali cukuplah sudah untuk sementara ini kita memahami korupsi melalui beberapa ciri-cirinya seperti yang diuraikan di atas, yaitu: pelecehan tanggung jawab, kerugian negara/publik/orang lain, pelecehan putusan publik/negara, dan redistribusi kekayaan secara tidak adil. Akan tetapi sejumlah ciri negatif lainnya akan muncul dalam uraian berikutnya.
Korupsi terjadi karena adanya motive, opportunity, and means. Motive atau niat korupsi adalah keuntungan pribadi (dengan cara merugikan pihak lain). Korupsi lebih terjadi pada dunia orang dewasa, dunia kerja. Korupsi dilakukan dengan mengutamakan uang, harta untuk pribadi; kurang untuk kerja itu sendiri juga kurang untuk kepentingan orang lain dan masyarakat. Wong (2002) mengungkapkan moralitas koruptor melalui ungkapan yang menarik: “…greed is good, money is God” (…rakus itu bagus, uang adalah Tuhan). Sehubungan dengan hal ini kita dapat memahami pendapat G. Shabbir Cheema, pejabat UNDP, dan Jean Bonvin, pejabat OECD (1997), tentang korupsi: “…that corruption hinders economic growth and sustainable development and often results in human rights violation” (…bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dan sering mengakibatkan pelanggaran HAM). Moralitas korupsi bertentangan dengan moralitas pembangunan. Banyak penulis dari gerakan anti-korupsi internasional menyimpulkan bahwa banyak negara berkembang memiliki pemimpin bagaikan predator dengan niat memperkaya diri sendiri. Kita di Indonesia menyaksikan hal ini sebagai pertunjukkan keji di siang bolong.
Opportunity atau peluang ada karena ada barang atau jasa yang menguntungkan. Dalam bidang publik, barang atau jasa tersebut adalah milik publik yang penggunaannya diatur secara khusus. Aturan ini pada dasarnya ditujukan pada kepentingan publik, bukan kepentingan perorangan atau golongan. Korupsi terjadi ketika penggunaan atau penyebaran barang dan jasa publik ini tidak sesuai dengan peraturan yang ada dan moralitas luhur. Dalam percakapan harian penulis sering mendengar bahwa Kepala Daerah, Kepala Dinas, Pimpro dan jajaran pimpinan lainnya memiliki jatah atas dana proyek, dengan demikian maka jika mereka kaya adalah wajar. Pertanyaannya, yang dimaksud jatah itu ada aturan atau dasar hukumnya atau tidak, ditulis dalam APBD atau APBN atau tidak? Jika “tidak” tentu mereka adalah predator uang rakyat.
Peluang belaka tidak cukup bagi timbulnya korupsi. Korupsi timbul karena adanya niat, peluang dan means atau sarana. Yang dimaksud sarana kiranya adalah kekuasaan (power) atau otoritas/wewenang, yaitu kekuasaan para pejabat publik dalam mengambil putusan menyangkut untuk apa dan siapa kekuasaan tersebut. Untuk rakyat atau pribadi dan golongan? Dengan demikian kekuasaan itu sendiri adalah barang publik yang menguntungkan, menciptakan peluang tersendiri untuk menguntungkan pribadi atau golongan atau bangsa. Di samping kekuasaan, terdapat sebuah entitas yang sering dinamai dengan monopoli. Banyak lembaga publik melakukan monopoli, dengan berbagai alasan yang diterima atau tidak dalam masyarakat yang maju. Monopoli dapat menjadi sarana bagi tindakan korupsi. Monopoli memuat implikasi tiadanya kontrol dan persaingan, kontrol total atas sesuatu yang menguntungkan. Manusia yang adalah makhluk terbatas dengan kontrol total atas sesuatu yang menguntungkan, sebetulnya adalah sebuah absurditas. Hanya Tuhan yang dapat dan mampu demikian. Berdasarkan hal ini dapat dipahami mengapa seorang pakar antikorupsi internasional Robert Klitgaard (Merino, 2000), pakar antikorupsi internasional, sampai pada formula:
Kekuasaan yang terkonsentrasi = ( monopoli + otoritas – transparansi);
Korupsi = ( monopoli + otoritas – transparansi);
Karena itu: Kekuasaan yang terkonsentrasi = Korupsi.
Banyak perizinan adalah menjadi monopoli pemerintah hingga akibatnya biayanya menjadi tidak jelas dan mahal. Kekuasaan di suatu kantor pemerintah sering terkonsentrasi atau disamarkan untuk tidak tampak terkonsentrasi. Inilah penyebab korupsi. Untuk mengatasinya, konsentrasi kekuasaan harus disebar, kantor pemerintah yang cenderung hierarkhis harus menjadi lebih horisontal, pimpinan dan bawahan harus mengupayakan transparansi (kebeningan), akuntabilitas (kebertanggungjawaban), dan proses partisipatif dalam pembuatan putusan, monopoli andaikan harus ada harus diperbaiki. Ini semua adalah tindakan preventif. Semua kegiatan yang preventif demikian ini kiranya termasuk sebagai bagian dari reformasi organisasional atau institusional. Sialnya, banyak kantor pemerintah belum menerapkan gagasan-gagasan tersebut.
I.2 Sebab-Sebab Korupsi
Memahami sebab-sebab atau faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya atau bahkan menyuburnya korupsi bersifat penting dalam rangka perancangan strategi antikorupsi yang efektif dan sustainable (berkelanjutan). Doig dan Riley (1997) mengemukakan bahwa sebuah sumber kunci dari korupsi di banyak lembaga publik negara-negara berkembang bisa jadi karena suatu kepemimpinan politik yang mementingkan diri sendiri dan suatu kerangka kerja negara yang besar, tidak efisien dan dipengaruhi kepentingan politik dan salah arah yang di dalamnya kepentingan individu dan kelompok swasta memiliki prioritas atas kekayaan kolektif. Para pejabat publik memiliki otoritas yang besar untuk mengakumulasi kekayaan pribadi melalui eksploitasi jabatan mereka yang monopolistik, gaji yang rendah dan tidak beraturan, sering dengan berkolusi dengan para politisi dan pebisnis pribumi (indigenuos) dan asing. Korupsi dengan demikian sering terjadi dalam masyarakat dalam mana terdapat otoritas yang besar dari para pejabat publik, akuntabilitas yang terbatas dan kekurangan transparansi dalam operasi-operasi pemerintahan; dalam masyarakat yang demikian ini, lembaga-lembaga masyarakat sipil dan sektor swasta yang independen sering lemah atau belum berkembang. Pembentukan korupsi menjadi sistematik atau sistemik bisa jadi merupakan suatu konsekuensi dari lama bertahannya ketidakadilan dan negara yang lemah atau tidak solid dalam mana hal ini dapat menyebabkan disorganisasi, atau ketiadaan hubungan yang stabil antar kelompok dan pola otoritas yang diakui. Korupsi menjadi permanen bisa jadi karena ia memiliki a self-supporting dynamic (suatu dinamika penghidupan diri sendiri). Korupsi mengalami perubahan karakter karena responnya terhadap perubahan faktor-faktor sosioekonomik kultural dan politik.
Analisis Doig dan Riley di atas kiranya dapat disederhanakan dengan cara yang berikut. Dari segi kronologis terdapat sumber atau pangkal dari korupsi dan perkembangannya menjadi sistematik atau sistemik. Sumber pertamanya adalah kepemimpinan yang mementingkan diri sendiri (motif atau niat). Mills (1997) mengungkapkan hal yang sama ini dengan istilah public administration ethics (etika administrasi publik) yang lemah. Adapun Eigen (2000) barangkali melalui konsep National Integrity System (Sistem Integritas Nasional)-nya akan menyatakan dengan ungkapan kepemimpinan pilar-pilar publik yang bermoral buruk. UNDP dan OECD (1997) melalui publikasi hasil konferensi antikorupsi yang mereka selenggarakan menyarankan adanya an exceptional political and managerial will (kemauan politik dan managerial yang luar biasa) untuk mempromosikan dan mempertahankan reformasi-reformasi antikorupsi. Ini juga menyatakan hal yang sama dengan moralitas kepemimpinan dalam perang melawan korupsi.
Sumber keduanya adalah organisasi, atau institusi atau manajemen publik (means) yang buruk. Sumbernya yang ketiga adalah gaji pegawai publik yang rendah, dan yang keempat adalah keadaan sosial, ekonomi, dan politik. Pola hubungan patron-client antara elit sosial dan kelompok pendukungnya turut mempersubur korupsi karena pola hubungan sosial yang demikian dilanggengkan oleh pasokan uang dari patron (majikan) kepada client (bawahan)-nya. Beberapa partai atau elit politik di Indonesia memiliki sejumlah klien yang harus diempani oleh uang. Juga, keadaan sosial yang umum adalah keterdididikan masyarakat yang tidak cukup untuk partisipatif dalam gerakan anti-korupsi; yang terjadi sebaliknya, masyarakat menerima, toleran terhadap korupsi, sekalipun tidak menyetujuinya. Padahal mereka adalah korban dari korupsi. Inilah yang terjadi ketika korupsi sudah terlembagakan, korupsi menjadi bagian dari batiniah kita sendiri, corrupted mind (batiniah yang tercemar).
Keadaan ekonomi yang barangkali turut menyuburkan korupsi di Indonesia adalah kebergantungan sektor swasta pada pasar pemerintah. Pemerintah menjadi pembeli terbesar dari produk swasta. Tender-tender publik diburu oleh pihak swasta melalui pemanfaatan peluang illegal yang lebih mudah tersedia di kalangan kantor pemerintah. Lebih mudah tersedia karena bencana akibat kerugian negara baru disadari setelah berlangsung puluhan tahun seperti yang terjadi di Indonesia di bawah rezim ORBA. Selain itu, pemerintah juga menjadi pelaku ekonomi yang monopolistik. Seperti sudah dijelaskan di atas, monopoli memiliki hubungan erat dengan korupsi.
Keadaan politik dapat memiliki pengaruh yang gawat dalam kaitannya dengan korupsi. Politisi Machiavellian yang orientasinya kemenangan partai menghalalkan segala cara untuk menang dalam pemilu. Mereka sering dapat ditandai melalui semboyan “lawan di hari kemarin dapat menjadi kawan di hari ini” demi bagi-bagi kekuasaan atau politik dagang sapi. Mereka tidak memilih siapa kawan atau lawan, yang mereka pilih adalah kemenangan partai yang identik dengan kekuasaan segilintir elit partai untuk berkuasa dan melempangkan jalan dalam berkorupsi.
Sebab-sebab korupsi yang dipaparkan di atas kurang mengeksplisitkan perhubungan antar kekuasaan di tengah kehidupan berbangsa. Kpundeh (1997) menyatakan bahwa ketika “… imbalance in power occur betwenn state and society, corruption is more likely to flourish” (…ketidakseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat, lebih memungkinkan korupsi untuk menjadi subur). Masyarakat yang lemah, seperti yang dialami Indonesia saat ini, adalah korban pemangsaan kepemimpinan negara yang korup. Juga sama halnya, sektor swasta yang lemah tidak independen harus mempraktekkan persuapan ketika harus berhubungan dengan pemerintah. Selain itu, pola perhubungan sosial dalam sebuah masyarakat pun sering mejadi lahan subur bagi tumbuhnya korupsi. Dalam masyarakat di kota-kota besar di Pulau Jawa, yang biasanya menjadi reference group (kelompok acuan) bagi masyarakat kota-kota lainnya, berlaku konsep silahturahmi yang berikut, yaitu patroon-client relationship. Banyak birokrat menempatkan diri sebagai raja feodal kecil atau besar, lalu orang-orang lain yang statusnya lebih rendah atau membutuhkan jasa/wewenangnya harus bersilahturahmi kepada birokrat ini demi fasilitas-fasilitas yang mereka kuasai. Silahturahmi, sebagai sebuah budaya religius, telah berubah bentuk menjadi budaya korup. Sama halnya, menolong saudara sendiri atau kenalan atau kerabat misalnya dalam sebuah seleksi di kantor pemerintah sering dianggap sebuah perbuatan ibadah, padahal cara yang dilakukan adalah dengan mem-bypass (memotong jalur) kriteria.
Perkembangan korupsi menjadi sistematik berkaitan dengan waktu, yaitu lama bertahannya beberapa sumber di atas; dan faktor waktu ini menjadi sebab dan sekaligus akibat dari lemahnya masyarakat sipil dan sektor swasta. Waktu yang dimaksud disini sebaiknya dipandang sebagai waktu yang digunakan manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Jadi, pertanyaan yang relevan untuk gerakan antikorupsi, yaitu sejauh mana bangsa Indonesia sudah berupaya secara cerdas dan bersemangat untuk mengendalikan korupsinya yang sistematik dan sistemik? Melihat Indonesia masa 1998 hingga 2004 ini, dapat disimpulkan bahwa KKN yang diamanatkan pemberantasannya belum direspon secara cerdas dan bersemangat.
Analisis Doig dan Riley di atas dapat dikatakan sebagai perspektif pihak luar atau internasional mengenai sebab-sebab korupsi di negara-negara berkembang; juga, sebuah perspektif yang lebih analitis. Adapun perspektif pribumi (indigenous) yang disajikan ringkas dalam selected papers dari Konferensi Antikorupsi UNDP 1997 adalah sebagai berikut. Botswana melaporkan sebab-sebab korupsi adalah: “An over-dominant ruling party in Botswana had undermined democratic safeguard against corruption, as well as traditional forms of accountability” (Suatu partai penguasa yang terlalu dominan di Botswana telah menggerogoti benteng demokrasi dalam melawan korupsi, begitu juga bentuk-bentuk akuntabilitas tradisional) (Frimpong, 1997 dalam Doig dan Riley, 1997). Dr. Ramiro Larrea Santos, dari Equador melaporkan sebab-sebab utama korupsi: “The main causes were a breakdown in ethical values, illiteracy and a non-tranparent, politicised and over-centralised state” (Sebab-sebab utamanya adalah suatu kegagalan nilai-nilai etik, kebodohan dan suatu negara yang tidak transparan, terpolitisassi dan terlalu sentralistik) (Doig dan Riley, 1997). Hongkong, Bertrand de Speville melaporkan: “The causes of corruption were related to rapid population and economic growth, Hongkong’s recently-arrived immigrant population (principally from China where corruption was endemic) and the administration’s wish to regulate and control the economy” (Sebab-sebab korupsi berkaitan dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang cepat, penduduk Hongkong imigran yang baru datang (utamanya dari Cina dimana korupsi bersifat endemik) dan administrasi pemerintah yang ingin meregulasi dan mengontrol ekonomi) (Doig dan Riley, 1997). Muganda dari Tanzania melaporkan: “A number of causes of the growth in corruption were identified, including economic deterioration, a decline in public ethics, and the lack of political leadership on the issue” (Sejumlah sebab dari pertumbuhan korupsi teridentifikasi, mencakup pembusukan ekonomi, suatu kemerosotan etika publik, dan kelemahan kepemimpinan politik terhadap isu tersebut) (Doig dan Riley, 1997).
Laporan-laporan pribumi ini barangkali berguna sebagai bahan renungan guna menemukan the cores of the problem (inti-inti permasalahan). Namun ada yang barangkali dapat kita kategorikan sebagai faktor penyebab yang belum dipaparkan disini, yaitu faktor internasional. Perdagangan internasional, donor dan loan internasional, termasuk terorisme, narkoba, persenjataan gelap, money laundering, turut mempersubur korupsi domestik. Di masa Perang Dingin korupsi di negera-negara berkembang dipersubur oleh sikap negara donor yang tidak peduli pada korupsi para elit negara berkembang, asal mereka anti-komunis.
Sebab-sebab korupsi memang beragam, dan sebetulnya sulit untuk dipukulratakan menjadi sebuah teori tunggal yang sederhana. Karena itu pemahaman berbagai perspektif tentang korupsi dan strategi pemecahannya diperlukan.
I.3 Anatomi Korupsi
Sebuah survai mengenai pengalaman chapters (saat ini ada 60 chapter di 60 negara) Transparency International (Eigen, 2000) pada tahun 1995, menyarankan bahwa korupsi di sektor publik memiliki banyak kesamaan dari segi bentuk dan mempengaruhi bidang-bidang yang sama baik di negara maju maupun di negara berkembang. Bidang-bidang aktivitas pemerintah yang rawan korupsi adalah:
pengadaan publik;
perubahan lahan (misalnya untuk jalan tol);
pengumpulan sumber-sumber pendapatan pemerintah;
pengangkatan pejabat pemerintah; dan
pemerintah daerah.
Metodologinya juga secara tegas bersifat sama, mencakup:
kroniisme, koneksi, anggota keluarga dan hubungan keluarga;
korupsi politis melalui donasi untuk kampanye politik, dan lain-lain;
uang suap atas kontrak-kontrak pemerintah; dan
berbagai jenis penggelapan.
Dalam bidang pelayanan publik (termasuk politisi, juga para pejabat yang dipilih dan ditunjuk), jenis-jenis kegiatan yang berikut sering terjadi:
Para pejabat tinggi negara yang “menjual” kekuasaan otoritas mereka. Misalnya, di New South Wales, Australia, the Minister for Corrective Services dihukum dan dipenjara karena menjual pelepasan dini dari penjara para pedagang obat terlarang;
para pejabat pemerintah yang menerima persentase atas kontrak-kontrak pemerintah, yang sering dibayarkan melalui rekening bank asing;
para pejabat pemerintah yang menerima "hospitality" (keramahan) yang berlebihan dari kontraktor-kontraktor pemerintah dan keuntungan-keuntungan dalam jenis seperti bea siswa untuk pendidikan anak-anak di universitas mancanegara;
para pejabat yang mengontrak bisnis-bisnis pemerintah untuk diri mereka sendiri, apakah melalui perusahan samaran dan "mitra" atau bahkan secara terbuka dengan menempatkan diri sebagai “konsultan”;
para pejabat yang dengan sengaja melakukan perjalanan ke luar negeri agar mereka dapat mengklaim uang perjalanan dengan tingkat yang mewah;
partai-partai politik yang memanfaatkan prospek kekuasaan, atau kontinyuitas kekuasaan, untuk menarik dana besar khususnya dari bisnis-bisnis internasional, dengan imbalan kontrak-kontrak pemerintah (yang bisa jadi dikemas sebagai suatu “donasi” untuk kepentingan “sosial” atau untuk sebuah “rumah sakit”). Misalnya, di Kenya selama bertahun-tahun masa the Kenyata, kendaraannnya adalah Rumah Sakit Angkatan Bersenjata Gatundu, yang adalah “penerima” resmi “donasi sosial” bagi siapapun yang ingin berbisnis dengan rezim penguasa. Jika rumah sakit ini benar-benar sebagai tujuan akhir dari uang tersebut, maka ia adalah sebuah rumah sakit kedokteran yang besar, bukannya sebuah rumah sakit sederhana di kawasan suku Presiden;
para pejabat yang berkenaan dengan pendapatan negara mempraktekkan pungli dengan mengancam akan mengenakan biaya tambahan kepada para pembayar pajak atau importir kecuali uang suap dibayar, yang dalam kasus ini dilakukanlah penilaian pajak yang rendah yang tidak adil, atau barang diberi izin impor tanpa pembayaran kewajiban apapun. Misalnya, pengumpulan pendapatan negara di Tanzania menurun secara dramatis pada tahun 1994-95. Di Itali, tempat praktek tersebut juga menyebar luas, para pembayar pajak, khususnya perusahan-perusahaan besar, menuduh ‘polisi keuangan’ memungli uang dari mereka, meskipun demikian tingkat ketidakmauan mereka untuk membayar demi pengurangan illegal tagihan pajak mereka tetap diuji dalam pengadilan kriminal;
para pejabat penegakan hukum memungli uang untuk keuntungan mereka sendiri dengan mengancam mengenakan hukuman lalu lintas kecuali uang suap dibayar (yang sering bernilai lebih rendah ketimbang jika hukuman itu di bayar melalui pengadilan);
para penyedia layanan publik (yakni, surat izin mengemudi, surat izin kios di pasar, kontrol paspor) meminta bayaran atas jasa dalam rangka mempercepat proses atau menghindari keterlambatan. Di Amerika Latin, praktek ini telah menjadi sedemikian terinstitusionalisasi hingga keseluruhan profesi menjadi tumbuh untuk “membantu” mereka yang ingin bertransasksi bisnis dengan suatu departemen pemerintah;
para pimpinan di lembaga layanan publik meminta “uang sewa” dari bawahan mereka, menuntut mereka meningkatkan jumlahnya setiap minggu atau bulan. Di Mexico City, berkembang suatu praktek polantas yang sedang bertugas di jalan untuk harus membayar sewa atas mobil patroli, senjata dan tugasnya, dengan sewa yang terpisah-pisah untuk petugas yang berbeda-beda yang bertanggung jawab atas kendaraan, senjata dan supervisi; dan,
"hantu-hantu" tercipta mengisi daftar gaji dan daftar pensiunan, atau penciptaan lembaga-lembaga fiktif, yang jika lembaga ini sungguh-sungguh ada, akan diklaim sebagai dana pemerintah. Di Uganda “sekolah-sekolah hantu” yang lengkap teridentifikasi dalam sebuah audit yang mengejutkan yang diselenggarakan dalam konteks suatu proyek reformasi sektor publik. The Warioba Commission menemukan banyak peristiwa seperti ini di negara-negara tetangga Tanzania. Bahkan Perancis belum immun. Seorang pejabat penggajian tentara ditemukan menciptakan satuan-satuan fiktif dalam Angkatan Bersenjata Perancis dalam rangka menghasilkan pembayaran-pembayaran pribadi.
Korupsi, dengan segala bentuknya, bukanlah sesuatu yang unik dalam suatu negara. Korupsi di Cina, dalam mana para birokrat telah “mengkomersialkan kekuasaan administratif mereka”, sungguh-sungguh tidak berbeda dari korupsi yang di Eropa, dalam mana partai-partai politik telah menerima suapan besar untuk proyek-proyek pekerjaan umum. (Di Itali, ongkos untuk konstruksi jalan dilaporkan menurun lebih dari 20 persen sejak “the Clean Hands” memerangi korupsi.) Dana-dana haram telah mengendap di rekening bank Swiss untuk pendanaan partai politik secara illegal, dan dicurigai bahwa dana-dana ini telah “menyelundup” ke dalam saku pribadi-pribadi. Uang-uang suap juga telah dibayarkan ke partai-partai politik untuk pengadaan-pengadaan di bidang pertahanan. Perusahaan-perusahan yang dimenangkan menjamu dan menyuap para pejabat, khususnya dalam perdagangan lintas batas internasional, untuk memenangkan bisnis secara illegal dan secara tidak fair dan, bukan tidak sering, dengan konsekuensi yang menghancurkan.
Anatomi korupsi di atas diduga kuat juga berlaku di Indonesia, namun kurang memberi tekanan atau sorotan pada korupsi dalam bidang pendidikan. Untuk itu akan disajikan sejumlah hasil riset dari Corruption Online Research and Information System (Corisweb).
CORIS (…) menyampaikan bahwa sebuah survai membuktikan sumbangan pemerintah pusat Uganda yang sungguh-sungguh sampai ke sekolah hanyalah 13%. Dana yang sudah dialokasikan ini digunakan oleh para pejabat publik untuk kepentingan-kepentingan yang tidak berkaitan dengan pendidikan atau diambil untuk kepentingan pribadi. Di Nicaragua, 86% orang tua berkata mereka harus membayar "contribuciones" kepada para guru. Banyak dari mereka (73%) juga harus membayar untuk pendaftaran yang seharusnya bebas biaya. Para mahasiswa di universitas-universitas di Belarus harus membayar para profesor mereka sebanyak US$ 5000-10000 untuk mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian. Hal-hal ini adalah sejumlah kecil contoh yang mengilustrasikan sebuah masalah dengan konsekuensi yang besar dan serius.
Tipe-tipe korupsi dalam pendidikan. Pengetahuan empiris kita tentang hubungan antara korupsi dan pendidikan sangat kurang. Sebagian praktek korup dalam sektor pendidikan memiliki kesamaan dengan yang terjadi dalam sektor publik lainnya, dan yang sebagian lagi bersifat sangat spesifik dalam sektor pendidikan. Perkembangan fakta-fakta bagaimanapun menunjukkan sejumlah tipe korupsi dalam pendidikan. Dana-dana untuk lembaga pendidikan menguap pada tahapan administratif oleh para administrator/pejabat publik bahkan sebelum dana tersebut sampai ke tangan yang dituju. Sama halnya, pengumpulan dana untuk pendidikan kenyataannya adalah untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan sumber-sumber yang disediakan oleh APBN atau loans (hutang), misalnya untuk kontrak gedung-gedung; adalah juga suatu penyakit parah. Penyimpangan seperti ini juga terjadi pada pemberian perizinan untuk membuka lembaga-lembaga pendidikan yang diberikan pada para penyelenggara pendidikan yang tidak layak untuk menerimanya; penyimpangan pengadaan buku ajar atau material pengajaran lainnya, atau seragam sekolah, dan makanan untuk anak sekolah. Masalah lainnya adalah uang suap yang diberikan selama atau sebelum pengangkatan guru, penjualan posisi atau promosi dan mutasi guru; favoritisme, dan nepotisme dalam pengangkatan yang mem-bypass peraturan atau kriteria guru.
Di lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri dapat terjadi misalnya pembelian/penyuapan untuk memperoleh kenaikan kelas, atau memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang bagus (prasekolah, SD, SM, universitas). Juga penggelapan akademis seperti penjualan soal ujian, penjualan/pembelian nilai hasil ujian dan ijazah dan gelar kesarjanaan, atau pem-bypass-an kriteria karena favoritisme dan nepotisme. Tipe lainnya adalah uang sekolah tambahan (untuk pengajaran di sore hari atau ketika libur), pengurangan lingkungan pengajaran (anak-anak dimanfaatkan sebagai tenaga kerja gratis untuk keuntungan guru, penjualan kursi jajaran depan dalam ruang kelas yang penuh sesak) dan “guru-guru hantu” atau absentiisme.
Belum banyak riset tentang korupsi dalam sektor pendidikan Indonesia. Akan tetapi diduga kuat korupsipun menyubur dalam persekolahan Indonesia dan kalangan administratifnya mulai dari pemerintah pusat hingga ke bawah di daerah. Penulis yakin sejumlah orang akan membantah keras hipotesis ini. Akan tetapi orang-orang yang demikian ini hanya akan membiarkan dunia pendidikan membusuk oleh korupsi.
Bersambung .....
Sabtu, 06 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar